Di daerah pedalaman Idakbo, tepatnya daerah
Makewapa, hiduplah satu kelurga yang miskin. Keluarga itu termiskin di daerah
itu. Mereka tidak memunyai makanan dan harta benda. Keluarga itu bernama
Kibiuwo. Keluarga Kibiuwo terdiri atas lima
orang, yaitu Ibu Kibiuwo, nama pertama Neneidaba, anak kedua Noku, dan anak
ketiga Yegaku. Anak yang pertama dan kedua laki-laki dan yang ketiga adalah
anak perempuan. Nama ayahnya tidak pernah disebut-sebut sampai sekarag (masih
dirahasiakan).
Mereka tidak ada nota/nuta (ubi jalar), nomo
(talas), digiyonapa/ugubo (sayur hitam), mege dan dedege (mata uang adat suku
Mee), ekina (ternak babi), dan tidak ada harta benda lainnya. Pada saat itu,
makanan yang ada hanyalah nota/nuta (ubi jalar) jenis kadaka dan
digiyonapo/ugubo (sayur hitam). Pada saat itu, musim kelaparan dan krisis
ekonomi berkepanjangan. Tanaman nota/nuta (ubi jalar), nomo (talas), dade/boho
(sayur gedi), eto (tebu) dan lainnya terbatas.
Kelurga Kibiuwo duduk dalam rumah dan berbincang-bincang
bagaimana mengatasi kelaparan yang menimpa keluarganya. Tiba-tiba saja ibu
Kibiuwo serasa ingin buang air kecil. Dengan sendirinya, Ibu Kibiuwo serta
merta berlari ke belakang rumah dan secara tiba-tiba melepaskan air kemihnya.
Dilihatnya, air kemih itu berwarna merah. Ternyata ia melepaskan air kemih
dalam bentuk darah, tepat di atas rerumputan yang rendah.
Dengan perasaan takut dan heran Ibu Kibiuwo
memasuki rumah tanpa bersuara dan komentar. Ia terus bertanya-tanya dan
merenungkan dalam hatinya, mengapa air kemihnya berdarah? Ia benar-benar heran
karena selama hidupnya belum pernah terjadi hal serupa. Baru pertama kali
terjadi seperti itu.
Mereka melanjutkan perbincangannya untuk terus
mencari jalan keluar untuk mengatasi kelaparan yang sedang dan akan menimpa
kelurga mereka. Ibu Kibiuwo tidak menceritakan kejadian yang menimpa dirinya
ketika buang air kecil di luar sana .
Tiba-tiba perbincangan mereka terputus oleh suara tangisan bayi.
Suara tangisan itu semakin besar, seakan meminta
pertolongan orang. Mendengar tangisan bayi itu, serta-merta berdiri dan
keluarlah mereka dari dalam rumah dan memperhatikan dari arah mana bayi itu
menangis. Mereka berdiri di halaman rumah dan memperhatikan sekelilingnya.
Suara tangisan semakin dekat, namun mereka tidak menemukan ibu yang
mengendongnya atau ibu yang sedang melahirkan di dekat rumah mereka. Mereka
terus melakukan pematauan di sekeliling rumah untuk mencari perempuan yang
sedang duduk menyusui atau berdiri mengendong dan membujuknya. Tidak ada ibu yang
melewati sekitar rumah mereka. Mereka terus melakuan pencarin. Tangisan terus
bertubi-tubi.
Dengan penasaran mereka semakin ke belakang,
tangisan anak semakin keras dan semakin dekat. Tangisan bayi mulai ke arah di
mana Kibiuwo membuang air kemih berdarah. Akhhirnya, mereka menemukan seorang
bayi lemah tergeletak persis di tempat Kibiuwo membuang air kemih. Dilihatnya,
air kemih yang berdarah itu sudah tidak ada lagi.
Melihat bayi yang tidak berdaya itu, keluarga
Kibiuwo merasa sayang. Ibu Kibouwo mengambil bayi itu dan membawa masuk ke
dalam rumah, karena ia teringat peristiwa yang terjadi padanya. Ia merawat anak
itu dengan senang hati, walaupun dalam kelaparan yang dasyat. Bayi itu terlahir
dari lingkungan keluarga yang miskin dan kesusahan makanan. Ibu Kibiuwo
bertanya-tanya apakah anak ini terlahir dari air kemihnya atau tidak.
Untuk memastikannya, ia menyuruh anak-anaknya
untuk pergi bertanya-tanya kepada warga setempat disekeliling mereka. Warga di
sekitaranya heran mendengar cerita itu. Mereka justru bertanya siapa gerangan
yang meletakkan bayi itu di dekat rumah keluarga miskin itu. Terutama karena di
daerah itu tidak ada ibu hamil.
Warga sekitar justru berdatangan ke rumah Ibu
Kibiuwo untuk melihat bayi itu. Dengan demikian Ibu Kibiuwo benar-benar yakin
bahwa bayi itu berasal dari air kemihnya. Ia merasa bayi itu pembawa berkat
bagi keluarganya. Namun suaminya yang tidak disebutkan namanya itu merasa, bayi
itu adalah ayayoka artinya anak bayangan atau anak roh. Alasan suaminya adalah
karena anak itu tidak memiliki ayah dan ibunya yang jelas. Lagi pula Ibu
Kibiuwo merahasiakan air kemihnya yang berdarah tersebut.
Suaminya berencana membunuh bayi itu, namun Ibu
Kibiuwo melarang keras untuk membunuh. Suaminya masih ngotot untuk membunuh
bayi lemah itu. Dia mengatakan ayayoka bisa membawa malapetaka bagi keluarga.
Melihat niat suaminya, Ibu Kibiuwo memeluk dan terus membelai bayi itu. Melihat
kasih sayang istrinya yang ditunjukkan melalui pelukan dan belaian itu, ia
mengurungkan niatnya untuk membunuh bayi tersebut.
Suaminya menerima anak itu sebagai anak
kandungnya. Ia menamai anak itu sesuai prasangkanya, yaitu “Ayayoka”. Hingga
umur bayi itu enam bulan dia masih belum makan dan minum. Setiap kali Ibu
Kibiuwo menyuap makanan dan minuman ke dalam mulut bayi itu terus
dimuntahkannya. Namun bayi itu sehat dan mulus. Tidak pernah menangis untuk
meminta makanan dan minuman. Ketiga anaknya (Neneidaba, Noku dan Yegaku)
menganggap bayi itu sebagai adik mereka. Mereka sungguh sayang kepadanya.
Hari berlalu tahun berganti, anak itu tetap sehat
dan mulus. Melihat kondisi badannya yang agak kecil, mulus, sehat, dan
berenergi, ayahnya memberikan nama baru baginya, yaitu Koyeidaba/Koheidaba.
Koyei (daba)/Kohei (daba) yang berarti anak berbadan agak kecil, mulus, tetapi
sehat dan berenergi. Koyei/Kohei menjadi nama kebanggaan ayahnya termasuk
keluarga miskin itu.
Memasuki umur tujuh bulan, anak itu mulai
berkarya melalui anusnya. Ia mengeluarkan makanan, harta serta ternak. Semua
makanan dan ternak yang dikeluarkannya masih dalam keadaan mentah dan hidup. Ia
mengeluarkan ubi mentah, talas mentah, apu (sejenis ubi jalar yang batangnya
terlilit pada pohon di sekitarnya), sayur hitam mentah, sayur lilin mentah,
sayur gedi mentah, bermacam-macam jenis tebu, bermacam-macam jenis pisang,
buah-buahan termasuk buah merah mentah dan lain-lain. Tujuan Koyei/Kohei agar
semuanya dapat dikembangbiakkan.
Berupa harta benda misalnya: mege (kulit kerang
yang dipakai sebagai mata uang suku Mee); dedege (sejenis kulit kerang yang
kecil berwarna putih untuk perhiasan leher), manik-manik biru tua yang dipakai
sebagai perhiasan keher) dan lain-lain.
Sementara berupa ternak seperti: ekina (babi)
yang masih hidup sebanyak dua ekor. Dua ekor babi itupun berkembang secara
cepat, karena banyak makanan. Keluarga Kibiuwo menjadi keluarga yang
berkecukupan di daerah itu. Keluara Kibiuwo tidak mengalami kelaparan lagi,
kelahiran Koyei/Kohei menjadi berkat tersendiri bagi kehidupan mereka. Setelah
keluarga Kibiuwo menjadi berkecukupan, tersebarlah berita itu di seluruh
daerah. Melihat keluarga Kibiuwo yang berkecukupan berkat kehadiran
Koyei/Kohei, muncul bermacam-macam pendapat dalam masyarakat di daerah itu.
Ada yang mengatakan, kehadiran Koyei/Kohei
sebagai penyelamat dari kirisis ekonomi; ada yang berpendapat Koyei/Kohei
sebagai peredam makanan, harta, dan ternak; ada juga yang menyangka Koyei/Kohey
adalah perampas, penghimpun dan penghilang kekayaan suku Mee, dan ada juga yang
berpendapat Koyei/Kohey hanya memperkaya keluarganya sendiri oleh sebab itu dia
harus disingkirkan.
Masyarakat daerah itu merasa bahwa keluarga
paling termiskin di daerah itu semakin menjadi kaya. Kecemburuan terus
meningkat. Masyarakat diam-diam menyepakati untuk membunuh Koyei/Kohei.
Sementara Ayah dan Ibu Kibiuwo tiba-tiba meninggal secara bersamaan.
Koyei/Kohei menghibur ketiga saudaranya untuk tidak menangisi kepergian orang
tua mereka. Namun mereka terus tangisi orang tua mereka. “Akan datang hari yang
indah hari tidak ada orag kaya dan orang miskin. Semua orang akan hidup damai
tanpa kekurangan apapun. Semua orang akan diselamatkan. Janganlah tangisi
mereka. Mereka akan hidup.” Demikian kata-kata Koyei/Kohei menghibur.
Sejak kepergian ayah dan ibunya, Koyei/Kohei
mengambil alih semua urusan keluarga. Dia juga mengajarkan mereka tentang
kehidupan yang indah tanpa bermusuhan, tentang keadilan, tentang hak atas tanah
dan lain-lain sambil berkarya meciptakan makan dan harta bagi mereka. Ketiga
anak itu berkecukupan dan setara dengan masyarat sekitarnya. Kesetaraan secara
tiba-tiba berkat kehadiran Koyei/Kohei tidak diterima oleh masyarakat setempat.
Mereka (masyarakat sekitarnya) terus membenci kehadiran Koyei/Kohei.
Kelompok masyarakat tertentu yang iri dengan
karya Koyei/Kohei mulai menyebarkan isu yang yang tidak benar. Katanya, “Kita
akan menjadi miskin, tiga bersaudara akan menguasai kita. Mereka yang tadinya
miskin kini mulai menjadi kaya. Dia (Koyei/Kohei) mementingkan keluarganya
saja.” Mereka menyebarkan isu itu ke seluruh masyarakat Mee.
Mengamati isu yang berkembang itu, Koyei/Kohei
merasa bahwa perlu mengambil sebuah buku yang berisi seluruh adat istiadat,
kebaikan dan kesempurnaan. Maka suatu hari dia mengutus Noneidaba dan Noku
untuk pergi mengambil “Touye Kapogeiye/Touhe kapogeihe” (sebuah buku tentang
kehidupan, kebaikan dan kesempurnaan) ciptaan Koyei/Kohei. Tempat penyimpangan
buku itu hanya dia yang tahu. Tidak ada orang yang mengetahuinya. Masyarakat
sekitar mengetahui bahwa Noneidaba dan Noku sedang bepergian keluar dari daerah
itu. Mereka tidak tahu untuk apa kedua pemuda itu pergi. Kesempatan itu
benar-benar dimanfaatkan oleh masyarakat daerah itu untuk menyerbu Koyei/Kohei.
Namun, dia meloloskan diri ke arah Gunung Odiyai. Pengejaran terus dilakukan
dari gunung ke gunung, terus lari melewati kampung yang satu ke kampung yang
lain, sungai-sungai besar disebrani, bukit-bukit ditaklukan.
Pada suatu titik jumlah orang yang mengejarnya
semakin banyak, dia sudah semakin lelah. Panah yang tertusuk pada lambungnya
semakin membuat dia tidak bisa meloloskan diri. Sebelum menghembuskan nafas
terakhirnya, Koyei/Kohei berkata:
“Sesungguhnya saya memberi kami makanan dan harta
kekayaan, namun kamu tidak mengerti bahkan membunuhku. Karena itu sekarang kamu
berusaha sendiri dengan susah payah. Peliharalah dua ekor babi itu baik-baik,
karena kamu akan diadili sesuai dengan setimpal perbuatanmu.”
Akhirnya Koyei/Kohei menarik nafasnya yang
terakhir. Ketika, Noneidaba dan Noku pulang membawa “Touye Kapogeiye/ Touhe
kapogeihe” dari kejauhan terdengar ratapan adik Yegaku. Mereka berdua
berlari-lari masuk ke dalam rumah dan mendekati adiknya ada gerangan apa dia
meratap. “Adik…, itu adik… telah dikejar dan dibunuh semua orang di daerah ini.
Dia sudah meninggal”, katanya sambil meratap. Mereka berdua masih
bertanya-tanya kenapa adik mereka dibunuh. Sementara “Touye Kapogeiye/ Touhe
kapogeihe” masih belum diserahkan kepada Koyei/Kohei untuk menjelaskan apa isi
buku.
Yegaku masih meratap. Ketika, dia ingin
menjelaskan lebih lanjut tentang proses penyerangan dan pembunuhan, rumah
mereka justru dikepung. Masyarakat sekitar sudah siap dengan panah untuk
menyerang mereka dua. Melihat kepungan itu, Noneidaba melarikan diri ke arah
barat lalu sempat meloloskan diri ke dalam sebuah gua batu dan menghilang di
situ.
Pada saat yang sama, Noku melarikan diri ke arah
timur. Namun sial, dia tertembak panah dan tidak bisa melarikan diri. Noku
masih belum mati tetapi dia menyerahkan diri untuk dibunuh sambil memegang
erat-erat “Touye Kapogeiye/Touhe kapogeihe” di depannya. Dia membelakangi
masyarakat (saat itu “Touye Kapogeiye/Touhe kapogeihe” ada di depan dia) dan
memasrakan dirinya untuk ditembak di punggungnya. Pada saat panah tertancap
dipunggungnya, Noku sempat berteriak dan mengatalan, “To kabu togo kabu kiyayaikaine” (saya
tinggalkan segala kegelapan dan keburukan padamu). Lalu Noku berteriak histeris
masuk ke dalam sebuah goa dengan membawa “Touye Kapogeiye/Touhe kapogeihe” lalu
tembus ke daerah lain (dunia Barat).
Semua orang yang mengejar dan membunuh
Koyei/Kohei dan Noku kembali ke kediaman Koyei/Kohei dan Noku. Di situ mereka
memotong babi satu ekor dari dua ekor babi yang keluar dari anusnya
Koyei/Kohei. Sementara, satu ekor babi berubah menjadi sebuah gunung dan kini
dikenal dengan, “Gunung Duwanita”.
Selanjutnya, mereka memotong kepala Koyei/Kohei
dan kulit perut babi, lalu menutupkan lubang gua bagian timur. Kemudian kepala
babi dan perut Koyei menutupkan bagian barat. Sementara dagingnya mereka pesta
bersama. Sesudah semuanya berakhir, mereka pulang ke rumah masing-masing dengan
teriakan kegembiraan (yuwaita).
Segala kerahasiaan Koyei/Kohei tersirat dan
tersurat dalam buku “Touye Kapogeiye/Touhe kapogeihe”. Saat ini sedang dicari
oleh sekelompok suku Mee yang menamakan dirinya Utoumana (kelompok pencipta
alat-alat budaya).
DIarsipkan di bawah: CERITA
RAKYAT MEE
0 Post a Comment:
Post a Comment